Musibah = Muhasabah

Hari ini tepat satu minggu peristiwa naas itu terjadi (lebay). Aku yang dengan semangatnya ingin masuk kerja, tidak mau terlambat, bawa motor dengan kencang alias ngebut ketika tiba-tiba sebuah benda jatuh ke atas kakiku. Dengan bodohnya atau dengan beraninya, aku menunduk untuk melihat benda apa itu, tanpa mengurangi laju motor, apalagi berhenti. Hasilnya, begitu kembali melihat ke depan got sudah terbentang di depan mata. Karena menghindarai got itu, terpaksa banting stir (kaya mobil) dan ngerem mendadak. Kupikir akan mulus, tapi ternyata gubraaaaaaak! Aku memejamkan mata, pasrah apa yang terjadi. Tiba-tiba di sekelilingku sudah ramai dengan orang yang terteriak “Tolongin.. Tolongin..”.

Aku membuka mata. Lalu bangkit menjadi posisi duduk (sebelumnya mungkin tiduran). Aaauuuww! Kaki kananku sakit! Detik berikutnya motor yang menimpaku dibangunkan, dan selanjutnya aku. Dengan menahan sakit sambil meringis, aku dipapah berjalan ke kursi panjang depan warteg. Ada yang nggak beres nih dengan lutut kananku. Sakitnya luar biasa!

Well, selanjutnya bisa ditebak. Ke rumah sakit, ronsen, minum obat, urut, nggak bisa jalan dan ngapa-ngapain, termasuk nggak masuk kerja. Selama seminggu ini, sejujurnya perasaanku campur aduk. Curhat sedikit boleh kali ya?

Sudah seminggu ini aku nggak masuk kerja, yang artinya ninggalin kelas dan nggak ngajar murid-murid kecilku. Awalnya mungkin aku merasakan “sedikit” terbebas dari kewajiban yang terkadang menguras tenaga, pikiran, dan perasaanku. Tapi lama-lama, ya Allah.. Aku rindu mereka.. Apa kabar dengan mereka selama ini? Apa mereka baik-baik saja jika walikelasnya tidak ada? Apalagi ditambah dengan rekaman suara yang dikirim oleh salah satu orang tua, dimana sang anak berkata “Miss Putri, cepet sembuh doonk. Aku kangen sama Miss Putri..”

Sungguh, hati ini ingin segera bertemu dengan mereka, berjumpa dengan mereka, termasuk mengerjakan tugas-tugas yang selama ini sudah kutinggalkan. Tapi apalah daya, ternyata kaki ini tak juga sembuh. Parahnya, karena memikirkan hal itu, aku sampai prustasi. Seminggu di rumah, cuma bisa jalan antara kamar-ruang tv-kamar mandi, cuma bisa tiduran-duduk-jalan sebentar, sangat membosankan! Kapan aku sembuh? Kenapa kakinya masih nggak kuat? Saking prustasinya, tentu saja berimbas dengan sering mengeluh, sensitif, dan menangis.

Tapi yaa mungkin ini adalah saat dimana aku harusnya merenung, bukan mengeluh. Mungkin selama ini aku kurang bersyukur atas sempurnanya fisik yang dilengkapi organ dan anggota tubuh tanpa kurang apapun, mungkin selama ini aku selalu menyepelekan anjuran dan peringatan orang terkasih tentang kehati-hatian jika mengendarai motor, mungkin selama ini aku kurang mengerti pentingnya berdoa dan ke-berserahan diri dalam melakukan apapun, dan mungkin aku kurang mensyukuri kesehatan yang selama ini Allah berikan. Atau mungkin Allah memberikan waktu untukku beristirahat sebentar, mengistirahatkan fisik, batin, hati, pikiran, dan jiwaku.

Astaghfirullah..

Maafkan aku ya, Allah..

Selama ini aku mungkin banyak mengeluh tentang fisik yang kurang mancung, kurang putih, kurang langsing, kurang cantik, dll. Padahal Allah sudah memberikan organ dan anggota tubuh yang sempurna, tanpa sakit, tanpa cacat. Kini ketika salah satu kaki terluka, tidak bisa berfungsi dengan baik, sungguh aku sadar bahwa ini tidak mudah dan membuatku tersiksa. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang justru sampai kehilangan kakinya, tidak memiliki tangan, dll? Ya Allah, baru terluka seperti ini saja aku sudah sangat cengeng. Pastinya mereka lebih tersiksa kan?

Maafkan aku ya, Allah..

Mama, papa, adik, masqu, teman, tetangga, semua orang selalu berpesan agar aku hati-hati, tidak ngebut, jangan meleng, ketika aku akan mengendarai motor. Responku hanya satu: IYA. Tapi hanya IYA, TANPA menurutinya. Bawa motor dengan kencang, salip sana-sini, yaah mau sok kaya Pedrosa mungkin. Ternyata anjuran mereka sangat tepat. Karena ngebut, kaki benjut. (apaan benjut? Nggak tau, nyocok-nyocokin aja biar enak bacanya.hehe). Next time, mudah-mudahan nggak trauma bawa motor dan lebih hati-hati lagi. Tentunya harus berdoa yang lebih khusyuk ketika mau berangkat. Berdoa dan mohon perlindungan sangat penting dan mungkin selama ini aku sedikit menyepelekannya.

Maafkan aku, ya Allah..

Kalau aku selama ini kurang bersyukur atas kesehatan yang Kau berikan. Tidak menjaganya, beberapa kali izin kuliah dan kerja, dengan alasan sakit padahal tidak, dll. Dan ketika sekarang aku tidak berdaya, barulah aku sadar. Sakit itu tidak pernah diinginkan oleh siapapun. Sakit itu mahal. Sakit itu menyiksa. Jadi jangan sia-siakan diri ketika sehat dan jangan pula dijadikan alasan untuk bemalas-malasan.

Yaah, penyesalan dan renungan itu emang selalu datang belakangan. Tapi tidak ada kata terlambat untuk sesuatu yang baik kan? Harapanku, semoga Allah menghapus dosa-dosaku dengan sakit ini, dan semoga aku bisa cepat sembuh. Aamiin 😀

Huaa, sebentar lagi mau itu ini.. Mau dikhitbah, insyaAllah. Kalau belum sembuh juga, bisa repoooooot! (Eh, kok ngeluh lagi ya? Hehe)

Dibalik Cerita sebagai Guru… [chapter 1]

Kita tak pernah tau apa yang menjadi jalan hidup kita, sampai kita menjalaninya..

Kata-kata tersebut sepertinya sangat cocok dengan keadaanku sekarang. Setelah meraih gelar S.Pd, lamaran pun melayang ke penjuru profesi dan tempat. Mulai dari menjadi guru, reporter, pegawai bank, admin di perusahaan, admin di sekolah dan kampus, dll. Mulai dari wilayah Bekasi, Cikarang, Tangerang, Jakarta, sampai ke Bogor. Harap-harap cemas, mulai frustasi ketika tak jua ada panggilan, menolak pekerjaan yang belum sesuai hati, semuanya sudah jadi makanan sehari-hari. Eiit, kalau dipikir-pikir, dengan gelar S.Pd kenapa aku mencoba melamar pekerjaan-pekerjaan itu ya?

Bukan mau munafik atau apa, tapi dengan jiwa muda yang masih sangat ingin tau dan penasaran, serta ambisi untuk segera memiliki penghasilan sendiri, tak jarang membuatku ingin cepat dapat pekerjaan. Apalagi pekerjaan yang kurasa cukup keren.

Reporter? Kurang keren apa coba? Secara eksis kesana-kemari untuk meliput berita, belum lagi kalau eksis juga di TV. Pegawai bank? Kayaknya itu pekerjaan yang paling membumi sekarang. Jurusan apapun, kayaknya berhak untuk bekerja di bank. Apalagi dengan penampilan yang rapi itu bikin orang-orangnya terlihat keren.  Belum lagi gaji yang katanya juga cukup sangat lumayan. Wuiiih, bikin aku kepengen juga..hehe. Jadi admin? Yaah, rasanya itu pekerjaan yang bisa diraih kalau mau masuk perusahaan. Secara kalau yang lain tidak memenuhi kualifikasi. Akuntan, HRD, jauh bener ilmunya. Aku masih sadar diri juga.hoho..

Sampai akhirnya, taraaaaa! Percaya atau tidak, semua lamaran yang kulayangkan ke tempat-tempat itu, tidak ada yang tembus sempurna! Tidak masuk kualifikasi, belum bisa bergabung, dll lah intinya. Yaa emang sih, ada beberapa yang mendapat respon. Terakhir, aku dipanggil interview untuk admin di perusahaan, dulu dipanggil untuk jadi reporter sebuah majalah ternama, sebelumnya sempet interview juga di bank.  Tapi yaa balik lagi, gak ada yang benar-benar BERHASIL -baik aku yang memang belum beruntung atau aku yang menolak pekerjaan itu-..

Sempet merenung juga, kenapa susah banget mau kerja? Begitu burukkah kemampuanku? Kenapa tidak ada yang memintaku bergabung dengan perusahaan mereka? Dan ketika di tengah kegalau-anku itu, tiba-tiba lamaranku ke sebuah sekolah yang awalnya hanya iseng -entah kenapa daftar sekolah yang cuma iseng justru sering dipanggil-, mendapat sambutan hangat. Aku dipanggil, interview dan tes yang awalnya masih coba-coba, sampai akhirnya benar-benar ku jalani sampai sekarang. Yup, bisa ditebak. Guru lah profesi itu. -Percaya gak? Kalau ngelamar “pekerjaan-pekerjaan keren” yang kusebutkan di atas tadi, aku tidak mendapat respon yang hangat. Tapi sebaliknya, kalau daftar jadi guru, Alhamdulillah cepet n mudah responnya. Atau setidaknya pasti ada jalan lain yang lebih mudah dan lebih baik.- Sampai akhirnya, dengan dukungan keluarga dan orang-orang terdekat serta dengan mengucapkan Bismillah, aku pun benar-benar memilihnya: GURU.  Profesi yang memang seharusnya menjadi pekerjaan jika ku turuti berdasarkan gelar. 🙂

Bagaimana perjalananku menjadi guru? Ada cerita apa saja? Apa komentar setelah menjadi guru? Baiklah, aku akan menceritakannya. Semoga dapat menghibur dan bermanfaat. 🙂

Saat  ini aku mengajar sebagai guru bahasa Indonesia di sebuah SD Islam di daerah Cibubur. Aku mengajar untuk kelas 1 sampai 5. SD itu belum lama berdiri, jadi muridnya masih belum banyak dan sistemnya masih perlu banyak perbaikan. SD itu berisi anak-anak dari keluarga yang berada, lengkap dengan segala permasalahannya.

Beberapa hari setelah bergabungnya aku ke sana, agak syok juga karena ternyata aku adalah guru termuda. Bukan syok karena menjadi paling kecil -karena posturku tidak imut bahkan guru yang tua lebih “mungil”-, bukan karena merasa paling gaul -walau kenyataannya aku jadi guru paling gokil dan “agak” nyeleneh penampilannya-, tapi karena aku muda dan belum bisa plus belum tau apa-apa. Baru lulus kuliah, belum punya pengalaman mengajar apalagi mengajar SD -pernah dan masih mengajar siswa SD hanya di bimbel, dan dulu praktek ngajar di SMP-, banyak nggak taunya, perlu dibantu untuk apa-apa. Wuiiihh, itu semua menyadarkan diriku bahwa aku masih mentah banget. Guru-guru yang lain Subhanallah sekali, punya banyak pengalaman, sudah ahli mengajar anak-anak kecil, intinya sudah benar-benar menjadi guru lah. Bener-bener bikin aku sempet -dan terkadang masih- merasa minder sekali. Dengan sekolahnya yang masih baru, seharusnya guru-guru yang ada mampu membawa perubahan dan kebaikan untuk sekolah agar sekolah dapat berkembang cepat. Tapi yang ada, aku justru perlu banyak bimbingan, pengarahan, intinya belum bisa berdiri sendiri. Bahkan aku sempat berpikir, apa yayasan tidak salah memilihku yang masih seperti ini?

Tapi bukan Putri namanya kalau tidak bisa memotivasi diri sendiri. Dengan sekuat tenaga, dengan hati dan pikiran yang seolah cuek dan nggak peduli, aku berusaha untuk berpikir positif. Allah bertindak seperti prasangka hambaNya, kan? Jadi aku mencoba berprasangka baik padaNya. Aku yakin Dia akan membantuku melewati ini.

Hal pertama yang kulakukan, aku meyakinkan diriku bahwa Allah lah yang mengaturku hingga aku bekerja sebagai guru di sekolahku. Allah lah yang menggerakkan hati yayasan untuk memilihku, Allah lah yang menggerakkan hatiku untuk yakin memilih pekerjaan ini. Jadi, pasti Allah pula lah yang akan membantuku melewati semua rintangan yang kuhadapi.

Setelah itu, aku meyakinkan diriku bahwa sampai kapanpun, di dalam hidup ini manusia akan selalu belajar. Tidak ada kata terlambat, tidak ada kata berhenti, kita akan selalu belajar untuk menjadi lebih baik. Dan menjadi guru di sekolahku sekarang, kuanggap sebagai sarana belajar lanjutan yang luar biasa besar manfaatnya. Jadi sah-sah aja kalau kesannya nanya-nanya mulu, coba-coba dulu, tiru-tiru dulu, salah-salah dikit, dll. Toh dari hal itu lah aku bisa belajar, kan? Lagipula ada ungkapan yang mengatakan bahwa “Sarana belajar yang terbaik adalah mengajar”. Jadi aku harus selalu belajar dan mengajar.

Selanjutnya, aku menerapkan sistem ATM alias Amati, Tiru, Modifikasi. Kalau sebelumnya aku sudah nyontek ilmu dari guru yang lebih senior, maka aku menyibukkan diri dan pikiranku dengan mencoba memodifikasi cara mengajarku. Ambil hal-hal baik dari guru senior, perbaiki hal tidak baik dari mereka, dan coba menerapkannya sesuai dengan prinsip dan kepribadianku. Dengan begitu, pikiran dan perasaanku tak hanya fokus untuk meratapi rasa ketidakberdayaan. Tak lupa aku juga menerapkan rasa “narsis” sedikit. Sering mendengar kata-kata: “tidak ada manusia yang sempurna” kan? Jadi pasti guru senior pun tidak sempurna. Mereka juga pernah salah, mereka juga ada tidak baiknya, mereka juga pernah berada di posisi tidak bisa apa-apa. Jadi, selagi aku masih dan mau untuk terus belajar, cuek aja! Lagipula pasti ada alasan kenapa yayasan akhirnya memintaku untuk bergabung. Alias pasti ada hal baik dari diriku yang mereka anggap layak untuk manjadi bagian dari mereka. Pede aja lagi.. 😀

Wuiih, klo ngebahas pengalaman sebagai guru “baru”, sebenarnya ada banyak banget yang mau aku bagi lagi. Cerita di atas baru “sepenggal” kisah. Gimana susahnya ngajar anak kecil, julukan Miss “Unyu-Unyu” dan “Miss cantik” yang disematkan oleh murid-muridku, ribetnya bikin RPP n tugas2 lain, masih canggung n anehnya untuk berhadapan dengan sosok “atasan”, gimana capeknya jadi guru, rasa dilematis pengen kerja dengan salary yang lebih besar, dll. Tapi kayaknya kalau digabung akan punjaaaang bener. Jadi ini dulu aja kali ya? Lain waktu akan aku ulas lebih banyak. Semoga ceritaku dapat memberi “pencerahan” dan bermanfaat. Ohya, mohon doanya juga ya, semoga kelak aku bisa semakin baik dengan profesi sebagai guru.. 🙂

  • Facebook

  • Arsip

  • Kategori

  • Tag

    akad nikah B1A4 bahasa Indonesia baro batik Batu Bekasi belanja keperluan bayi berbicara Bromo choi jong hun cinta cita-cita dr. Regina Tatiana Purba Dr. Regina Tatiana Purba S.POG Dr. Sri Redjeki dr. W. S. Redjeki S.POg dr Regina Tatiana Purba Spog fanfiction film film barat film indonesia filosofi ft island gongchan guru hamil hermina grand wisata honeymoon ibu iko uwais ingin hamil jalan-jalan jinyoung jogja kampus keluarga khaylila kontrol hamil korea kuliah lamaran mega bekasi hypermall melahirkan membaca mengajar menjadi ibu menulis menyimak motivasi moto gp my wedding novel parenting pedrosa pernikahan persahabatan persalinan pregnant Promavit puisi renungan resepsi RS Hermina Grand Wisata rsia bella bekasi sabar sarjana sastra Indonesia sekolah dasar semangat senam hamil seserahan the raid trimester tiga wisuda
  • Tulisan Terakhir

  • Komentar Terakhir

    melody pada Pondok Indah Mertua VS Pondok…
    Yolanda ayu (@yolagu… pada Kenapa ambil jurusan bahasa da…
    intan pada Rasanya Hamil Ketiga, Anak…
    Ika pada Kenapa ambil jurusan bahasa da…
    alma pada Kenapa ambil jurusan bahasa da…
    wickyyumma pada Kenapa ambil jurusan bahasa da…
    Titis pada Kenapa ambil jurusan bahasa da…
    Titis pada Kenapa ambil jurusan bahasa da…
    Adhari pada Kenapa ambil jurusan bahasa da…
    Indri Lutfi pada Kenapa ambil jurusan bahasa da…
  • Love Story

    Daisypath Anniversary tickers